Nota Menteri Luar Negeri Inggris ini
tidak dijawab oleh Den Haag, karena secara diam-diam Gubernur Laging
Tobias telah mengirimkan pasukan militer yang terdiri dari orang-orang
Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera. Teuku Umar
yang sebelumnya telah menyatakan takluk kepada Belanda telah
dipergunakan untuk memimpin operasi militer ini.
Teuku
Umar dengan pasukannya yang dibawa oleh kapal perang Belanda,
diperlakukan sangat tidak enak. Ia harus tidur di geladak sebagai
kuli-kuli saja. Rasa dendamnya dipendamnya selama ia dan pasukannya di
kapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku Umar dengan pasukannya didaratkan
oleh sebuah sekoci, maka semua awak kapal dari sekoci itu dibunuhnya,
dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri dengan rakyat Teunom.
Kegagalan yang ketiga kalinya untuk
merebut sandera dari tangan rakyat Teunom, mendorong Jenderal Van
Swieten untuk mengirimkan surat ke dewan menteri Belanda. Dengan
kata-kata singkat diusulkannya agar Inggris dan Belanda bersama-sama
mengirimkan pasukan penyerbu untuk menghukum rakyat Teunom. Menurut Van
Swieten, ini tidak akan merendahkan prestise Belanda di nusantara,
tetapi justru menaikkannya. Sebab, dengan ini akan ternyatalah bahwa
tidak timbul pertentangan antara Belanda dan Inggris.
“Menurut saya akan merupakan langkah
politik jitu bila panglima skuadron Inggris diminta membuka perundingan
atau mengajukan tuntutan. Maka dia pun bertindak bagai penuntut yang
meminta warga negaranya dibebaskan.”
Usul Van Swieten diterima oleh Dewan
Menteri Belanda dan juga oleh Inggris, sehingga pada tanggal 12 Agustus
1884, skuadron Inggris-Belanda dengan pimpinan Maxwell dan Laging Tobias
mengepung daerah Teunom dan tanpa perdebatan yang berarti, pemimpin
Teuno m menyerahkan para sandera dengan imbalan tebusan sebanyak seratus
ribu ringgit dan pelabuhannya tidak diblokade lagi.
Setelah masalah kapal Nisero selesai,
pada tanggal 20 Agustus 1884, penguasa kolonial Belanda memulai memasang
Lini Konsentrasi, yang luasnya kira-kira 50 km2 dengan Kutaraja sebagai
jantungnya, dikelilingi oleh suatu lini dengan enam belas benteng,
dalam rangka mengamankan daerah kekuasaannya di Aceh. Jarak antara satu
benteng dengan benteng lainnya satu sampai dua kilometer, dan rata-rata
lima kilometer, dari titik tengah. Keseluruhan bentuknya kira-kira
merupakan setengah bulatan dengan bagian terbuka ke arah laut.
Rel trem menghubungkan benteng-benteng
itu yang jumlah penghuninya masing-masing berbeda, dari 160 orang dengan
lima perwira dalam benteng terbesar, sampai 60 orang dengan seorang
perwira dalam benteng terkecil. Benteng-benteng ini temboknya tanah
dengan pagar kayu runcing-runcing, dan dua meriam atau lebih di baluarti
yang menjorok di pojok-pojok, sehingga baik lapangan depan maupun
sebelah tembok–tembok itu dapat tersapu oleh tembakan meriam.
Pembuatan Lini Konsentrasi ini bersamaan
dengan diberlakukannya kembali pemerintah militer di Aceh dan memakan
waktu setengah tahun. Baru pada bulan Januari 1885, pos-pos yang berada
di luar Lini Konsen-trasi dikosongkan oleh pasukan Belanda, tetapi
segera diisi oleh pasukan gerilya Aceh.
Sistem Lini Konsentrasi pasukan Belanda
ini, dinilai oleh para pemimpin perjuangan Aceh sebagai suatu taktik
kekalahan Belanda. Hal ini merupakan dorongan semangat untuk melanjutkan
perjuangan bagi rakyat Aceh untuk mengusir Belanda kafir. Teungku di
Tiro yang masih tetap tegar dan tidak kenal damai serta beberapa ulama
lainnya; memainkan peranan penting untuk melanjutkan peperangan di Aceh
sampai penguasa kolonial angkat kaki dari bumi Aceh.
Walau sistem Lini Konsentrasi dianggap
yang paling aman buat Belanda, tetapi ternyata masih saja banyak pasukan
gerilya Aceh dapat menembus benteng-benteng mereka dan melakukan
serangan, sehingga keamanan semu tidak pernah dicapai.
Di samping itu sistem Lini Konsentrasi
menimbulkan kejenuhan bagi pasukan Belanda, keadaan terkurung dan tidak
ada operasi militer yang dapat meningkatkan prestasi, apalagi sesudah
bulan Agustus 1885 setelah beberapa sergapan pasukan gerilya Aceh
terjadi, hampir semua lalu lintas dengan luar tertutup dan semua bahan
makanan harus didatangkan dari laut; akibatnya wabah beri-beri yang
parah, pelanggaran disiplin dan desersi besar-besaran menimpa pasukan
Belanda.
Pengaruh demoralisasi kehidupan dalam
Lini Konsentrasi dengan baik dilukiskan oleh banyaknya jumlah mereka
yang lari. Berapa banyak pasukan Belanda yang berasal dari penduduk bumi
putera yang melakukan desersi tidak diketahui, tetapi pastilah ratusan,
karena semua berita sependapat mengemukakan bahwa jumlahnya jauh lebih
besar daripada pasukan Belanda yang berasal dari Eropa. Sedangkan jumlah
seratus untuk golongan yang terakhir ini (pasukan asal Eropa) tidak
dilebih-lebihkan.
Pada tahun 1896 pasukan Belanda
menyerang tempat kediaman Panglima Polim, kepala sagi Mukim XXII, di Gle
Jeung yang terletak di Sungai Aceh. Banyak keterangan yang mereka
peroleh bahwa di sana sudah sejak lama tidak boleh tidak berdiam
sekumpulan desertir (pelarian) dalam jumlah banyak. Bukti yang paling
kurang ajar adalah sepucuk surat dalam bahasa Belanda yang mereka
tujukan kepada paaukan Belanda. Dalam surat itu dimintanya agar
detasemen pasukan Belanda bila kembali ke Kutaraja mau meninggalkan
sedikit jenewer.
Dalam kelompok pelarian ini terdapat
pula seorang jago tembak bangsa Belanda yang bernama Carli dari batalyon
XVI. Ia pandai berbahasa Aceh dan menggabungkan diri dengan pasukan
Panglima Polim. Pada pertempuran tahun 1896 dan 1897 yang dilakukan oleh
pasukan Panglima Polim, Carli dengan menggunakan senapan Besumon modern
menyerang pasukan Belanda dengan gigih, sehingga pihak belanda menjadi
kewalahan.
Sistem Lini Konsentrasi ternyata tidak
menjamin keamanan dan ketenteraman kedudukan penguasa kolonial Belanda,
karena ternyata pasukan gerilya Aceh masih mampu melakukan serangan
sampai ke daerah-daerah yang terdekat dengan Kutaraja. Untuk mengatasi
serangan gerilya Aceh, maka pada tanggal 20 April 1890, seorang Jaksa
pada pengadilan di Kutaraja, bernama Muhammad Arif, menasehatkan kepada
Gubernur militer Aceh ketika itu Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya
yang bernama J.B. van Heutsz, untuk membentuk sejumlah detasemen mobil
kecil-kecil yang terdiri dari orang-orang yang cukup berani untuk
mencari gerilya dan melawannya dengan senjata-senjata mereka sendiri.
Kontra gerilya sebagai jawaban atas gerilya. Usul ini diterima. Nama
korps baru ini menunjukkan bahwa pada mulanya ia dimaksudkan sebagai
polisi militer.
Pembentukan pertama korps ini terdiri
dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang
masing-mssing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa
dibawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia. Pada
iahun 1897 menyusul perluasan sampai dua divisi dan pada tahun 1899
sampai lima divisi; semuanya berjumlah seribu dua ratus orang. Kemudian
ada lagi beberapa kompi yang berasal dari Jawa; dan pasukan inilah yang
kemudian terkenal dengan pasukan Marsose.
Dalam kisah-kisah romantis perang Aceh
biasanya digambarkan bahwa seakan-akan 1200 orang Marsose inilah yang
membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala tentara yang
sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar! Secara kekuatan efektif,
kekuatan pasukan Belanda seluruhnya di Aceh di bawah van Heutsz lebih
besar daripada kekuatan–kekuatan sebelumnya.
Di bawah pimpinan beberapa orang perwira
telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak terlukiskan dengan
pasukan-pasukan teror oleh brigade-brigade Marsose, yang mengakibatkan
ratusan dan bahkan ribuan orang laki-laki dan perempuan serta anak-anak
yang terbunuh secara menyedihkan.
Kemandirian brigade merupakan rahasia
besar Marsose. Persenjataannya adalah sebaik-baik persenjataan pada masa
itu, yakni karaben pendek (bukan senapan panjang-panjang, kelewang dan
rencong) sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan topi. Memang
brigade-brigade ini membawa beberapa narapidana untuk mengangkut
perlengkapan mereka dalam setiap operasi militer, tetapi secara
keseluruhan pasukan Marsose adalah hidup berdikari. Semangat pasukan
senantiasa dipertinggi dengan berbagai cara: hadiah, kenaikan pangkat
dan upacara.
Pasukan Marsose tahun 1890 dapat
disamakan dengan anggota pasukan komando, pasukan payung, dan
pasukan-pasukan khusus lainnya di kemudian hari. Mereka pun merasa
sebagai pasukan istimewa. Adalah merupakan kehormatan bagi perwira untuk
ditempatkan pada korps ini. Sebagian besar para perwira pribumi yang
terkenal dan yang terjahat berasal dari pasukan Marsose, dan mereka
sangat disanjung-sanjung oleh penguasa kolonial Belanda, dengan
memberikan berbagai gelar militer kehormatan.
Ketika pada tahun 1912 pasukan Marsose
di bawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt dibubarkan, setelah kedua
brigadenya di Tangse selama tiga tahun mengejar-ngejar pasukan gerilya
dibawah pimpinan ulama Tiro terakhir,keempat puluh satu anggota
pasukannya ini semuanya memperoleh dua bintang Militaire Willemsorde
kelas tiga, sebilah Pedang Kehormatan, tiga Militaire Willemsorde kelas
empat, dua Bintang Perunggu, dan sepuluh pernyataan Kehormatan dalam
perintah-perintah harian.
0 komentar:
Posting Komentar